MS Publishing

I think I am Ugly

Novel oleh: Isrina Sumia

Begitulah perjalanan kencanku pertama kali dengan lelaki bermata bulat nan putih itu. Tapi tak bisa disebut kencan, karena memang kami tidak memiliki hubungan apapun. Dibilang sahabat, bukan. Karena pertemuan kami masih terbilang singkat dan kami juga tidak sedekat yang orang pikirkan gila-gilaan, saling curhat seperti kebanyakan sahabat lainnya. Kami tidak seperti itu. Jika di bilang pacar, apalagi sudah pasti bukan. Jadi bisa kubilang hubunganku dengann Bowo, adalah hubungan tanpa status yang tak jelas ke mana ujung dan tujuannya.

Kita kembali ke cerita. Seusai aku makan di KFC bersama Bowo, kami pun memutuskan untuk pulang. Pemuda itu mengantarku sampai pangkalan angkot dan setelah berulang kali dia memaksa untuk mengantar pulang dengan motornya.

Kalau harus jujur, sebetulnya aku bisa dan ingin banget nerima ajakan Bowo untuk pulang naik motor berdua dengannya, tapi aku merasa malu dan tak pantas disamping perasaan bersalah dan merasa berdosaku. Rasanya aku belum sanggup dibilang gendut oleh Bowo, atau dia merasa keberatan dengan tubuhku yang harus dia angkut di motornya. Belum lagi, keadaan menukik yang membuatku menjadi serba salah dan berdosa. Buah kehormatan di dadaku, mau tidak mau pasti akan menempel di punggungnya, dan aku tak mau itu terjadi.

Kalo kata Bapak, kemuliaan seorang wanita adalah yang mampu menjaga aurat untuk suaminya seorang. Ah, lagi-lagi aku terbentur dengan jodoh masa depanku, yang tak jelas berada di mana dia sekarang.

***

Besoknya seperti biasa di hari senin pertama di minggu ke tiga, kami kembali ke sekolah. Tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak terlambat. Begitu pun Bowo yang kulihat pergi bersama Eko, teman basketnya dengan motor legenda milik Eko.

Aku melihat Bowo turun dari motor, kemudian kumpul bersama teman-teman basketnya yang postur tubuh hampir sama denganya. Tapi, saat aku melintas, tidak ada gerakan apa-apa dari Bowo. Dia tidak melirik, apalagi melambaikan tangan. Sepertinya, tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita.

Sepertinya, kedekatanku dengannya kemarin hanya mimpi, yang kukarang-karang sendiri.
Aku sempat berpikir, mungkin Bowo malu menyapaku di depan teman-temannya yang wajahnya tak kalah istimewa dengannya. Atau mungkin, dia menyesal dengan acara kemarin dan sudah tidak mau dekat-dekat denganku lagi.

Sikap Bowo yang seperti itu, membuatku buru-buru menjauh darinya, dan memilih untuk membuang muka. Enggak tahu kenapa Bowo begitu, aku juga enggak tahu kenapa perasaanku jadi sedih gara-gara itu.

***
Jika ingin memilih, aku sama sekali tak ingin kenal dengan lelaki mana pun. Sebelum mengenal dan dekat dengan Bowo, aku adalah anak periang, yang tak pernah murung jika berjalan apalagi dalam belajar.

Tak pernah sekali pun aku merasakan desiran hati yang dahsyat, hingga mempengaruhi Kesehatan dan jam malam tidurku. Mungkin juga mempengaruhi semangat belajar dan semangat membantu Mamah di rumah.Perasaan ini lebih-lebih dari virus flue atau sakit gigi. Perasaan ini menjengkelkan, apalagi tanpa sebuah kejelasan.

Dua jam aku diam saja selama pelajaran Sejarah dan Bahasa Inggris. Di jam pelajaran itu, Bowo duduk bersama Rian, dan selama pelajaran pula, masih tak ada sedikit pun pergerakan dari Bowo untuk meledek atau menyapaku seperti hari hari sebelumnya. Atau, aku saja yang menyapanya lebih dulu? Tapi aku bukan gadis seperti itu. Jika aku tidak ingin pacaran, bukankah bagus Bowo bersikap demikian?

Di jam istirahat seperti biasa, aku akan duduk di kelas sambil makan bekal dari Mamah. Duduk di kelas kosong setidaknya sampai teman-temanku kembali dari kantin. Namun, saat ruangan kelas begitu sepi. Ria, Bapoek dan Nita datang mendekat. Ria duduk di sebelahku, kemudian mengajak bicara;

“Mia! Lu mau enggak main voli gantiin Susi. Kali ini aja,” ajak Ria.

“Gua enggak jago main Voli. Lagian buat apa?”

“Ayolah please Mia. Tim kita kurang satu orang nih, susi enggak masuk,” tambah Bapoek.

“Memangnya mau ngapain?”

“Kita mau Sparring sama anak kelas 2-2, siang ini habis pulang sekolah di lapangan.”

“Kenapa mesti gua sih, kan yang lain ada.”

“Ya Ampun Mia, anak 2-4 badannya kecil-kecil semua,” tambah Nita.

“Iya lu aja badannya yang memenuhi syarat!” lanjut Ria.

“Gua kan gendut kata lu,” jawabku pada Bapoek.

“Tapi lu tinggi!” timpal Ria.

“Please Mia … kita kurang orang nih, mau dibawa ke mana harga diri jelas 2-4?”

“Yaa … udaaah.”

“JANGAN MAU!” teriak Mumut sambil jalan mendekat. Di tangannya ada plastik makanan berisikan syomay dan segelas minuman berwarna. Dia letakkan makananya di mejaku, kemudian melotot sama mereka.

“Lu enggak puas apa Poek udah hina temen gua kemaren!” kata Mumut. Dia pasti kaget saat tau kabar peristiwa rok robek dari Ema.

“Ya elaah, begitu doank. Eh lagian ya, kalo kita niat buat nyakitin Lu, Mia. Ngapaian juga kita satu team? Logikanya tuh di mana kita mau nyakitin temen lu?” timpal Bapoek dengan wajah juteknya.

Benar juga kata Bapoek, bagaimana mungkin mereka melukaiku sedang kita satu tim.

“Enggak usah, gua yakin mereka mau jahatin lu!” Mumut berbisik, tapi wajah Ria, Nita dan Bapoek seperti wajah depkolektor yang sedang menagih hutang. Seram.

“Kalian benar-benar butuh?”

“Iya Miaaa! Mau ya ….”

“Ya udah, jam berapa?”

“Sip! Jam tiga, habis pulang sekolah. Bajunya pake baju olahraga aja ya, kan hari ini ada mata pelajarannya!”

“Oke!” Mereka pun langsung berhamburan begitu saja keluar kelas, sementara Mumut langsung duduk di sampingku dan menyalahkan keputusanku.

“Gua enggak yakin mereka benar-benar butuh
orang!”

“Terus gimana dong?”

“Ya batalin aja! Atau enggak kabur.”

“Ya enggak enaklah udah janji!”

“Ish ish! Ya udah, nanti gua sama Ema bakal nonton tandingnya.” Mendengar itu aku senyum, kupandang mumut dan mencubit pipinya sambil berterima kasih. “You are the best!” kataku.

***
Setelah jam istirahat, Bowo tak terlihat di dalam kelas bersama dua teman lainnya, Rian dan Waldi. Mumut bilang mereka ada tanding basket di STM sampai siang. Makanya tas mereka ditinggal di kelas.

Apa kubilang, jika aku bukan satu-satunya orang spesial buat Bowo. Buktinya, aku sama sekali tak tahu jika dirinya ada jadwal tanding.

Seusai pulang sekolah. Aku bersama Ria, Bapoek, Nita, Maya dan Joice berganti pakaian di toilet sekolah. Selama mengganti pakaian, mereka sama sekali tak cuek padaku. Aku mereka ajak bicara, diajak bercanda bahkan mereka tak segan ingin melatih kemampuan bermain voliku di lain waktu. Hari itu, di tengah gadis-gadis cantik di sekolah aku merasa seperti bintang yang bersinar. Mungkin saja, ini adalah awal mula aku bisa dekat dengan mereka.

“Oh ya Mia! Posisi lu nanti Defender ya!”

“Defender apa?”

“Ya ampun! Lu kan pinter masa enggak tahu, kan ada di pelajaran olahraga!”

“Enggak nyimak.”

“Defender itu Libero, posisinya di belakang.”

“Tugas gua apa?”

“Ya jaga bola lah! Jangan sampe lepas, gua taro lu disitu, soalnya posisinya enggak susah. Lu enggak perlu smash, cukup pukul jaga bola aja. Bisa kan?” Aku tersenyum, dan mengangguk.

“Kalo begitu doang bisa insyaAllah!” jawabku antusias.

Setelah tiba di lapangan, Mia dan Mumut sudah berada di pinggiran lapangan dengan bekal cemilan seadanya, beberapa anak dari kelas lain juga ada yang menonton di luar kelas mereka. Lalu, anak kelas 2-2 yang mau tanding pun sudah bersiap. Di tim mereka, ada Sinta, Atikah, Dewanti, Yuliani, Friska, dan Marissa.

Beberapa menit kemudian pertandingan dimulai. Bapoek server bola, sampai melewati Net. Lalu Friska dari tim lawan yang berada di posisi yang sama denganku memberikan bola melambung keluar net, ditangkis oleh Nita timkku lalu dioper ke Ria. Namun, di luar dugaan.

Bukannya mensmash Ria justru memberikan bola lambung ke arah lawan. Sinta kemudian melompat dan mensmash dengan kencangnya bola ke arahku, aku bersiap. Namun, bukannya terkena tangan bola itu justru menabok wajahku sampai ambruk.

-II-

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.