MS Publishing

I think I am Ugly

Pertanyaannya, aku jadi tidak jalan dengan Bowo? Jawabnya, jadi.

Sepulang sekolah, di hari sabtu, hujan kembali turun. Jalur pulang melalui pasar pun kulewati. Meski jalanannya becek, tapi jalur ini lebih dekat ke jalan raya dibandingkan jalan STM. Pagi lewat jalan STM, pulang sekolah lewat jalan pasar. Selalu begitu.

Bersama Ema dan beberapa teman lainnya aku beriringan berjalan. Lalu tiba-tiba saja sebuah motor legenda yang ditumpangi dua pelajar melipir ke arah kami dan berhenti. Dia adalah Waldi dan Bowo. Kelihatan dari tas yang mereka gunakan. Bowo kemudian membuka kaca helmnya lalu berteriak.

“Bu Haji besok saya jemput jam satu siang!” Semua mata tertuju langsung padaku.

“Cieeeee!” Ema, Madinah dan beberapa siswa yang mengenalku langsung meledek. Wajahku hangat, kuperhatikan sekeliling dan semakin malu saja saat semua mesem-mesem karena ucapan Bowo itu. Tertawa aku di depan mereka.

“Jangan salah paham Woi!” teriakku pada mereka sambil berlari lebih dulu, kemudian naik ke dalam angkot yang sudah menunggu di pinggir jalan.

Duduk aku paling belakang, kusandarkan tanganku di bibir kaca belakang sambil menahan debaran hati yang tak karuan. Wajah mendadak berkeringat, isi kepala seperti biji beras yang berhamburan di lantai.

“Cieee Bu Haji!” Suara Ema tiba-tiba saja terdengar nyaring, membuyar lamunanku.

“Daah Bu Haji terima aja,” sambung Madinah. Mereka naik angkot yang sama denganku, menuju pasar lontar.

“Apaan sih,” timpalku.

“Dah lah Mia! Lu mesti terima, kalo manusia itu semua sempurna!”

“Ya bisa aja Bowo seleranya kayak lu!” kata Madinah sambil tertawa. Penumpang lain yang ikut di dalam bersama kami, hanya menguping dan sesekali melihatku. Aneh mungkin melihat buntelan kayak aku.

Setiba di pasar, pikiranku lagi-lagi tak fokus. Satu kotak kue kusabunin berulang-ulang padahal keran air terus menyala. Mamah marah, lalu ajak pulang. Mengira putrinya sakit.

Sampai di rumah. Mamah bilang, “kamu siangin aja sayurannya, nanti Mamah yang masak,” katanya dan aku mengangguk.

Setelah selesai aku masuk ke kamar, memikirkan hari minggu besok. Pakai baju apa? Mau jalan ke mana? Seperti apa jalan itu? Bawa uang berapa? Bagaimana kalo ketahuan Mamah apalagi Papah? Bowo bawa motor atau tidak? Kalo bawa motor, boleh tidak boncengan? Ahhh, mumet.

“MIAAAA!” teriakan Mamah tiba-tiba saja menyambar sampai membuyarkan segalanya. Terpelanting aku dari kasur, lalu berlari ke dapur, Mamahku telak pinggang dengan mulut bersungut.

“Apaan sih Mah?”

“Tuh liat, kamu tuh kenapa sih!”

Hah! Kaget aku saat melihat bukan bawang yang ada di mangkuk melainkan kulitnya.

“Bawangnya mana?” bentak Mamah sambil melotot. Kepalaku langsung muter dan saat lihat tong sampah, aku cengengesan. “Ituu,” jawabku ketakutan.

“Ambil! Cuci!”

Fix otakku korslet. Hal ini baru pertama kalinya terjadi dalam hidupku. Hati nggak karuan, otak isinya sampah, badan keringetan nggak jelas, setiap buka buku atau mengerjakan apapun selalu ada wajah Bowo menari-nari. Bowwwwwoooo!!!! gumamku gedeg.

***

Tak hanya peristiwa kotak makan, dan bawang aja. Segalanya jadi berantakan karena Bowo. Semalaman aku pusing memikirkan hari esok. Bulu kuduk merinding, lebih merinding ketimbang mikirin kuntilanak. Tapi, ada hal yang membuatku lebih takut dibandingkan hanya memikirkan ajakan Bowo.

Pernah suatu hari Laila kakakku berjanjian dengan mantan pacarnya di halte Bus kemudian ketahuan Bapak saat dia berboncengan dengan Pacarnya itu. Sepulangnya Laila, habis disabetin Bapak pakai sabuk.

Kupejamkan mata dan memikirkan cara terbaik agar Bowo tidak menjemput ke rumah. Kutelepon dia lewat sambungan telepon kabel. Perlu kalian tahu, bahwa keluargaku tidak miskin-miskin amat, meski Mama hanya berjualan kue di pasar dan Bapak kerja di Pelabuhan. Tapi kami memiliki rumah yang cukup luas peninggalan Nenek dengan sambungan telepon yang sudah terpasang dari dulu, juga mobil kijang Doyok dari hasil kerja keras Bapak di Pelabuhan. Kami menyebutnya Kijang Jambrong, karena bunyinya seperti kaleng kerupuk kalo lagi jalan.

[Assalamualaikum.] Suara seorang wanita tiba-tiba saja terdengar, membuatku gugup bukan main.

Langsung saja kujawab. [Waalaikumsalam Bu, Bowonya ada?]

[Bowo!]

[Iya Bu.]

[Dari siapa ini?]

[Mia Bu.]

[Miaa! Mia baru sekali telepon ke sini ya?]

[Iya Bu.]

[Sebentar Ibu kasih tahu Bowo dulu ya.]

[Ya Bu.]

Beberapa detik berlalu, si pemuda suara tebal itu langsung menjawab.

[Iya Bu Haji.]

[Eh Bowo! Lu serius besok?]

[Ya serius lah Bu, masa saya bohong.]

[Mau ke mana sih?]

[Ibu udah pernah ke Mall belom?]

[Udah lah.]

[Mall mana?]

[Ramayana.] Bowo ketawa.

[Ramayana Mah bukan Mall Bu.]

[Laaah, terus apa?]

[Ramayana Mah department store. Mall lebih gede lagi.]

[Hmmm.]

[Pernah ke kelapa gading Bu?]

[Belom pernah.]

[Ya udah nanti kita ke sana aja Bu.]

[Ngapain?]

[Ya terser ….] Buru-buru kututup karena suara motor vespa Bapak udah terdengar. Berlari aku ke kamar dan memantul-mantulkan kepala ke daun pintu.

“Bego! Bego!” gumamku, bukannya bilang nggak usah jemput malah omongin yang lain.

Akhirnya aku menunggu sampai malam hari, sehabis Isya Bapak biasanya mengisi pengajian di pesantren mini yang berada persis di samping rumah. Di saat itulah aku menelepon Bowo untuk kedua kalinya. Setelah basa basi, wanita yang sebelumnya mengangkat teleponku, terdengar berteriak.

[Bowooo! Miaaa telepon lagi!] Begitu katanya, sampai anaknya angkat lagi teleponnya.

[Bu Haji tadi keputus kenapa?]

[Eh Bowo! Besok kita langsung ketemuan aja di Mall ya.]

[Laah kok begitu.]

[Iya, lu nggak usah jemput.]

[Lah kenapa Bu?]

[Udah ikutin aja!]

[Nggak bisa donk Bu. Mana boleh cewe jalan sendirian, ahaaaay!]

[Nggak apa-apa Pak!]

[Saya jemput aja Bu!] Bowo maksa.

[Ya udah, di halte depan gang ya, depan pom bensin.]

[Emangnya kenapa Bu? Kenapa nggak di rumah aja.]

“Assalamualaikum!” Suara Bapak nyaring terdengar.

[Dah begitu aja! Dadah! Assalamualaikum!]

[Bu Haajjj] Sambungan terputus.

***

Aku masih ingat dengan pakaian yang kukenakan saat itu. Jilbab putih, dipadupadankan dengan outer rajut dongker selutut, kaus hitam di dalam, dan celana jeans juga tas selempang milik kakakku. Outfit ini adalah outfit andalan yang sering kugunakan saat teman-teman pengajianku ajak jalan.

Sejak pagi aku sudah menyiapkan segalanya. Mulai bantu Mamah, jualan di pasar kemudian buru-buru pulang karena takut terlambat. Setelah rapi, keluar aku dari kamar dan pas Bapak bertanya mau ke mana? Otak, mulut, dan langkah mendadak jadi segaris lurus, kompak kaku.

Aku tersenyum kemudian duduk dekat Bapak, dengan lugu dan perasaan yang sangat bersalah. Aku bilang, “jalan sama teman Pak.”

“Ke mana?” tanyanya lagi cukup tegas sambil menyeruput teh hangat buatan Mamah.

“Mall Kelapa Gading.” Bapak menoleh, dia melihatku dari atas sampai bawah.

“Sama siapa?” tanyanya lagi dan disitulah awal bencana.

Mataku berkedip berusaha
menyembunyikan sesuatu. Jika jujur, Bapak pasti tak berikan izin. Tapi jika tak pergi, bisa saja aku akan menyesal seumur hidup. Karena telah menghapus moment penting dalam buku sejarah kehidupanku, jika aku pernah jalan dengan orang paling ganteng di sekolahan.

“Sama Hindun Pak,” kataku menunduk. Merasa bersalah karena baru saja berbohong. Kebohongan pertama yang kubuat di sepanjang usiaku bersama Bapak. Hindun adalah teman pengajianku, dan Bapak sangat mengenal baik anaknya.

“Ya sudah, ada uang nggak?” tawar Bapak dengan bijak. Penawaran yang membuatku semakin bersalah tapi akhirnya kuterima juga.

Setelahnya sesuai jadwal aku pergi. Sebelum ketempat janjian bertemu, aku datang kerumah Hindun dan merencanakan scenario dengannya, kalo-kalo Bapak bertanya denganya. Beginilah awal mula kerajaan bohong dimulai. Hindun setuju. Aku langsung melanjutkan perjalanan.

Tiba di halte pukul satu lebih lima menit. Bowo belum datang, duduk aku di kursi Halte lalu beberapa menit kemudian. Sebuah motor Kawasaki hijau melipir persis di depan halte. Pengendara membuka helm dan langsung menoleh ke arahku. Aku melotot, jantung berdegup hebat, berat rasanya menelan saliva, hampir ngeces dan si Bowo hanya tertawa sambil turun dari motor dan menyodorkan helm untukku.

“Kenapa Bu?”

“Moootor iini?”

“Iya! Keren kan,” lanjutnya.

Alisku terangkat, keren dari mana? Mungkin hanya aku yang tak fokus dengan betapa kerennya motor ini. Tapi lebih fokus dengan jok belakang yang sedikit menukik dan kecil.

Sejenak, aku merasa tak yakin dan percaya bahwa aku akan benar-benar naik motor bersamanya. Kubayangkan sejenak, panggulku yang besar yang akan terkspos, belum lagi pantulan-pantulan hebat jika Bowo mengerem dan … satu kebohongan besar ditambah dosa menempel dengan yang bukan mahram.

Sayup-sayup suara vespa Bapak seolah terdengar. Persis suara yang terdengar di kamar mandi, padahal hanya perasaan saja aslinya tidak ada.

“Ayoo Bu!” ajak Bowo lagi.

Sambil melirik kanan kiri aku berjaga-jaga kalo kalo ada tetangga yang mengenalku keluar dari gapura Gang. Saat ada yang mengenalku dan melintas aku langsung membuang muka. Takut mereka akan lapor ke Bapak.

Begitu sepi. Kuterima helm itu dengan tangan gemetar, lalu dengan perasaan bersalah, tegang, tak karuan aku menuju motor. Bowo naik lebih dulu. Dan sedikit lagi aku akan naik ke motor setelah bunyi cetek dari kunci helm terdengar. Tapi sebelum itu terjadi, suara Vespa Bapak seolah begitu dekat begitu ada metromini melintas, aku langsung berlari dan naik ke atas bus metro dan duduk di kursi terdekat pintu.

Lewat jendela aku berteriak,“Ketemuan di Mall aja Wow! ” teriakku membuat Bowo kaget dan melongo.

Anak itu masih kebingungan sedang aku melambaikan tangan. Dari jauh dia berteriak, “Bu Haji helmnya!” Sambil meraba kepala aku menoleh dan hari itu semua penumpang bus oranye itu tertawa melihatku.

-II-

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.