MS Publishing

I think I am Ugly

Novel oleh: Isrina Sumia

Di sudut toilet aku merengut sambil garuk kepala, memikirkan cara. Menunggu sampai jam istirahat adalah jalan terbaik. Karena kuyakin, masih banyak siswa berhati yang mau membantuku. Sudah beberapa menit berlalu Bapoek tak kunjung datang. Mungkin dia tak enak untuk meminta izin, atau sudah berkeliling mencari jarum dan benang. Namun, tak kunjung mendapatkan.

Sialnya, tak ada satu pun murid yang ke toilet sepagi ini. Aku masih menunggu dalam toilet sampai tak lama kudengar suara seseorang dari luar. Suara yang tak asing. Suara tebal milik teman sebangkuku.

“Bu Haji!” Suara itu seketika membuat kedua pipiku terasa panas. Bangkit aku dari jongkok, dan tak tahu harus menjawab apa.

“Bu Haji!” sapanya lagi. Kepalaku menyembul keluar dan melihat pemuda itu sudah berdiri di depan toilet perempuan.

“Nih!” katanya sambil menyodorkan celana olahraga. Aku tercengang, bingung. Bertanya-tanya apa mungkin dia sudah tak marah padaku.

“Woi! Malah ngelamun!”

“Eh iya!”

“Pakai itu dulu, itu celana olahraga punya Fajar anak 2-1. Pasti muat!” tambahnya lagi membuat dadaku yang sebelumnya terhambat bongkahan sesak itu lega seketika. Bowo hanya bersandar di dinding dan tak menoleh ke arahku, tangannya masih dia julurkan dan menggenggam celana olahraga milik lelaki tergendut di sekolahku.

“Udah cepat ambil!” katanya lagi. Malu-malu aku menunduk, dan menerimanya. “Terima kasih ya Wo,” balasku.

“Sini tasnya!” katanya lagi menawarkan pertolongan.

“Nggak usah Wo, gua bisa kok.”

“Nanti ketauan lagi, abis ini pelajaran Bu Yati. Dah sini tasnya!” tambahnya. Bu Yati adalah guru Matematika terkiller di sekolah ini. Siapapun yang terlambat, tak tertib, berisik, tak sopan pasti akan dibentak olehnya.

“Sebentar,” balasku.

Tergesa-gesa kukenakan celana Fajar yang gombrang. Kemeja kukeluarkan agar bokongku tak terlalu terlihat kemudian keluar. Setelahnya kumasukkan rok sobek itu ke dalam tas dan menyerahkan tasnya ke Bowo. Tak lama lelaki itu menghilang, dan setelahnya aku berlari menuju kelas.

Dari luar suara bising, riuh siswa bercanda terdengar nyaring. Hal biasa yang terjadi di setiap pergantian mata pelajaran. Lalu begitu aku masuk, semua siswa menyeru.

“Huuuuu! Mia!”

“Makanya jangan kesiangan!” sahut-menyahut mereka.

“Kesiangan mulu luh! Ngapain aja sih kalo pagi!”

“Buntelan Kentuttt!” teriak Bapoek membuat semua siswa menertawaiku.

“Buntelan kentut! Buntelan kentut!” Mereka berteriak-teriak dengan ritme nada seperti penonton bola. Kulewati mereka dengan perasaan Bomat alias Bodo amat, kemudian duduk di kursi.

“Heh jaga mulut lo!” teriak Ema membelaku.
Itulah sebutan baruku, Buntelan Kentut. Siapapun yang mendengarnya pasti takkan suka. Tapi, kenyataannya tubuhku memang sebuntel itu. Salah aku juga yang telah meminta bantuan Bapoek. Tapi semua sudah terjadi. Kulihat meja Mumut kosong. Kata Ema, dia tak masuk. Pantas saja, tak ada yang mau membantu Ema untuk membelaku. Semua anak-anak masih bersorak meledek, berteriak menertawakanku.

“Makanya jangan kegendutan! Robek kan tuh roknya!” teriak Ria dan disahutin lagi oleh mereka. Tapi aku masih diam.

“Kelewatan banget mereka sumpah!” gerutu Ema.

“Dah biarin aja,” jawabku tenang padahal hati sudah meradang. Seperti arang.

“Emangnya tadi lu kenapa Mia?” tanya Amel seperti tak tahu apapun.

“Rok gua sobek. Terus gua minta tolong Bapoek buat ambilin jarum sama benang.”

“Ya ampun jahat banget ya tuh anak. Pantes aja dia pas dari toilet cengengesan. Ternyata ngetawain lu. Ya ampun, jahat banget!” kata Ema prihatin. Semua anak-anak masih meledekku terus menerus.

Tak lama kemudian Bowo masuk dengan membawa tasku. Semua mata tertuju padanya, masih ada yang meledek, tertawa tapi sebagian lagi sudah senyap. Ketika Meyna tertawa geli dan tak ada habis-habisnya menghinaku.

“Woi diem Woi!” Bowo teriak, membuat suara-suara itu senyap dan menjadi fokus ke arahnya. Semua suara terbungkam, termasuk aku yang kebingungan melihat Bowo berada persis di depanku. Saat suasana semakin tiada suara.

“Bu Haji! Mau enggak jalan sama saya!?” tanyanya dengan nada lantang membuatku melongo seketika sambil melotot.

“Jangan melotot! Mau enggak?” tanyanya lagi dan sekarang tak hanya aku yang melongo. Kutengok kanan dan kiriku, teman-temanku melongo, aku menoleh ke belakang Meyna dan teman-temannya juga melongo, terlebih Ria yang kulihat meremat pensil di tangannya.

“Mau enggak Bu Haji! Jawab donk!” tanya Bowo lagi sambil mendekatkan kepalanya ke kepalaku, Dia letakkan dua tangannya di dua sisi meja dan membungkuk.

“Mau Enggak Bu?” Kutatap wajahnya kemudian menggeleng. Tapi Bowo malah mengangguk. Aku menggeleng lagi. Bowo semakin mengangguk. Kemudian dia menyeringai, lalu tertawa. Dia dekatkan kepalanya kemudian berbisik, “Lu orang pertama yang nolak gua!” Sebelah alisku terangkat lalu menyeringai.

“Heh ngapain kamu di situ!” Suara Bu Yati, akhirnya menunda jawaban Bowo. Pemuda itu buru-buru langsung duduk di sampingku, dan hari itu adalah awal kembalinya Bowo.

“Lu udah nggak marah?” tanyaku berbisik.

“Emangnya siapa yang marah?” Dia bertanya balik.

“Lah bukannya kemarin ….”

“MIA BOWO!” Bu Yati berteriak, jantungku hampir copot. Mata Bu Yati hampir keluar saat menatap kami.

“Bisa diam nggak kalian! Kalo nggak keluar sana!” Gugup kami berdua mengangguk angguk bak merpati saat makan.

Setelah itu, tak ada lagi yang kami bicarakan. Kuanggap ucapan Bowo pagi tadi hanya candaan agar anak-anak itu berhenti meledekku. Siapa yang percaya jika orang seperti Bowo mau mengajakku jalan. Ria saja ditolak apalagi aku si Buntelan Kentut.

Waktu jam istirahat, semua anak-anak berhamburan langung menuju kantin. Ema mengajak, tapi celana olahraga yang kupakai pasti nanti akan menjadi pertanyaan buat Pak Narto jika melihat.

“Gua di kelas aja Ma.”

“Yakin! Mau nitip enggak?” Kurogoh saku baju dan mengambil uang pecahan lima ribu di sana.

“Syomay!” kataku dengan senyuman terhebat dan mata yang sedikit menyipit.

“Dasar! Ya udah, tunggu ya!”

“Emaalia is the best!” kataku begitu saja. Dan saat semua anak-anak itu turun ke kantin. Aku segera ditemani sepi.

Sesekali kulihat anak-anak kelas lain wara-wiri di depan kelas. Aku jadi ingat saat aku duduk di bangku SMP. Sambil besekolah, aku sambil berjualan kue. Keranjang merah legend khas tukang kue kini teronggok bisu di kios. Seandainya peraturan SMA tidak terlalu ketat dan memberikan izin untukku berjualan pasti sudah kulakukan.

Beberapa saat berlalu. Emalia dengan Madinah teman sekelasku berlari tungganglanggang masuk ke kelas. Setelah sampai mereka langsung duduk di dekatku, kemudian dengan napas tersengal Ema bercerita.

“Tebak ada gosip apa?”

“Apa?” tanyaku penasaran sambil mengambil plastik syomay di tangannya.

“Gosip Bowo ngajak lu jalan udah kesebar!”

“Ah serius lu!”

“Iyah! Udah kesebar sampe kantin. Tau nggak mereka bilang apa?”

“Apa?”

“Mereka bilang mata Bowo picek!” tambah Madinah.

“Nah bener tuh!” tambahku sambil tertawa.

Aku menyeringai. “Iya picek kali dia,” sahut Madinah lagi.

“Ish apaan sih Mia. Lu nggak boleh gitu, semua manusia tuh dilahirkan sempurna tau!” kata Ema dengan bijaknya. Anak lugu dan polos yang selalu mendapat nilai lima dalam setiap ujian matematika itu memang selalu bijak dalam berkata.

“Lu harus pede donk! Kalo Bowo ngajak lu jalan, itu tandanya dia anggap lu lebih baik dari Ria!” Aku langsung terusik kala mengingat wajah Ria yang begitu sangar saat Bowo mengajakku jalan tadi pagi. Apa yang akan dilakukan athlete voli itu padaku nantinya. Kuempaskan bayang-bayang adegan jambak-jambakkan di kepala sambil memasukkan potongan syomay ke mulut.

Bel berdering, anak-anak masuk dan Bowo kembali duduk di sampingku. Kita berdua cukup tenang saat pelajaran Fisika berlangsung.

“Yang ini gimana caranya?” tanya dia sambil meletakkan buku di tengah. Bahu kami kemudian berhadapan dan saat melihat soal fisika itu yang ada dalam bayanganku hanya ajakan Bowo tadi pagi dan bayangan saat kita berdua jalan di Mall. Saat dia mentraktir es krim terus ajak nonton bioskop. Aku membayangkan sampai bulu kuduk merinding dan gemetar.

“Woi!” Bowo mengagetkan.

“Mikirin apa sih lu, Bu Haji!” tanyanya dan aku menyeringai.

“Enggak, apa-apa,” jawaku gugup. Buru-buru kubaca dengan sedikit keras soalnya agar saling paham.

“Sebuah roket ditembakkan membentuk sudut elevasi 37 derajat terhadap sumbu x ,jika roket tersebut ditembakkan dengan kecepatan awal 50 m/b”

“M/S!” Bowo berseru. “Kok bisa jadi M/B, Bu Haji matanya picek!”

“Hah!” Kulihat lagi soalnya, dan mendadak aku malu wajahku panas, kenapa huruf S bisa berubah jadi B sih. Aduh otaku dah mulai ngehank. M/B maksudnya apa juga? Mia per Bowo!

“Arghh!” gerutuku sambil bangkit dan gebrak meja, Pak Andi guru Fisika langsung melihatku dan melepas kacamatanya.

“Kamu kenapa Mia? Sudah tahu jawabannya? Sok jawab di papan!”

“Hah!” Aku panik, dan menggeleng. “Belum Pak,” jawabku kemudian sambil duduk di kursi, kutarik buku tulisku, kemudian Bowo bertanya lagi.

“Eh gimana ini!”

“Kerjain sendiri kenapa sih!” bentakku membuat pemuda itu melongo.

-II-

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.