MS Publishing

I think I am Ugly

Novel oleh: Isrina Sumia

Hari hujan ketika bubar sekolah. Seperti biasa aku pulang berjalan kaki menyusuri jalan pasar yang becek kemudian naik angkot untuk menuju pasar yang lainnya. Beberapa dari temanku memilih untuk bermain di rumah teman yang lain. Sedang aku, harus membantu Ibuku di Pasar. Merapikan barang-barang di kios, agar wanita yang paling berarti dalam hidupku itu bisa cepat beristirahat di rumah.

Di pasar lontar tepatnya, tiga kilometer dari lokasi sekolah. Ibuku menjajakan kue jajanan pasar. Beberapanya dia buat sendiri dan sisanya adalah barang titipan. Setiba di sana, jalanannya sama beceknya dengan pasar dekat sekolah. Perlu hati-hati saat melangkah, karena begitu banyak lumpur dan lubangan.

Sampai di Kios, Mamah terlihat sibuk membereskan wadah. Kutarik pundaknya mengecup kedua pipinya kemudian memintanya untuk duduk. Setelahnya melanjutkan pekerjannya. Mencuci kotak kue, menyapu kios, membuang sampah, dan yang terakhir mengantarkan pesanan pelanggan.

“Wajik, risol sama kue bugis masing-masing nya ada 50 biji sama dongkalnya jangan ketinggalan!”
perintah Mamah.

“Kenapa sih Ibu ini kalo pesen selalu ada dongkal lima ribunya. Kayak syarat gitu nggak sih Mah?”

“Lah memang syarat anaknya. Anaknya ituloh doyan dongkal!”

“Anak dongkal!” ledekku dan Mamah tertawa.

“Ya sudah sana!” perintah Mamah. Aku pun langsung bergegas dengan meminjam sepeda tukang parkir.

Jaraknya tak jauh, masih berada di jalan Lontar hanya beda gang saja. Setiba di rumahnya, aku langsung memarkirkan sepedaku di depan rumah pelanggan, dan pelan-pelan mengucap salam.

“Waalaikumsalam!” Biasanya seorang wanita bertubuh tambun dengan kulit putih kemerahan yang akan membalas salamku . Namun, kali ini berbeda, yang menyambut salamku adalah lelaki bersuara tebal.

Sangat tebal. Saking tebalnya membuatku berpikir keras karena terdengar begitu akrab. Mataku langsung berkeliling melihat sekitar terasa dan garasi. Mobil Katana berjejer dengan kijang rover, ada motor legenda yang biasa dipakai teman-temanku untuk sekolah. Ada juga rak sepatu, dan sepatunya seperti kukenal. Sepatu ituuu ….

“Waalaikumsalam!” Aku menoleh dan melihat wanita yang baru saja kukatakan itu keluar. Senyumnya begitu cantik dan matanya besar juga hidungnya mancung seperti warga keturunan.

“Pesanannya sudah lengkap?”

“Sudah Bu.”

“Dongkalnya ndak lupa kan?”

“Ndak!” kataku.

“Bu maaf, perasaan tadi yang jawab cowo tiba-tiba Ibu yang keluar saya jadi kaget.”

“Ooh itu anak Ibu. Pemalu dia memang!”

“Ooh hehe.”

“Mampir dulu yuk.”

“Ndak usah Bu. Kasihan Mamah nunggu di pasar.”

“Oh ya sudah!” Jawabnya.

Pekerjaanku usai sudah, tinggal kembali ke pasar, mengantar Mamah mencari CD film Shah Rukh Khan, lalu pulang.

Sampai di rumah, aku tak langsung tidur. Kubiarkan Mamah istirahat sedangkan seperti biasa aku harus bantu Mamah menyiapkan makan untuk adik-adikku yang masih lugu dan lucu itu juga untuk Bapak yang bekerja serabutan di Pelabuhan. Kami lima bersaudara aku anak kedua dan kakak pertamaku sedang menempuh pendidikan pesantren di Kediri.
Setelah semua pekerjaan rumah, sekolah beres, selepas Isya baru deh aku tidur.

Jam tiga bangun lagi, bantuin Mamah dan Bapak buat kue terus antar makanannya ke Pasar. Menjelang Fajar aku sudah tiba di pasar. Biasanya kita salat subuh di Mushala Pasar karena akan kesiangan jika dilakukan di rumah.

Kuikat kepalaku dengan handuk seperti yang biasa dilakukan oleh tukang Ikan teman Mamah, kemudian berjualan seperti biasa.

Para pembeli itu biasanya berebut, ada yang beli dongkal tiga ribu, ongol-ongol dua ribu, ketan kelapa, ketan serundeng, banyak sekali pokoknya. Jam enam tepat, aku langsung diantar Bapak pulang.

Kadang tak selalu tepat, kadang sampai di rumah pukul enam lebih tiga puluh menit. Ini adalah alasanku sering datang terlambat ke sekolah. Sebuah alasan yang tak perlu dijelaskan oleh siapa pun. Sebuah alasan yang selalu kututupi saat pak Narto bertanya. Lebih baik mengatakan aku kesiangan, ketimbang menjadikan Ibuku alasan akan keterlambatanku.

Pagi ini aku terlambat lagi. Sambil mengenakan kemeja aku teringat dengan Bowo. Perasaan tidak enak kemudian muncul, sambil mengikat tali sepatu aku menggerutu. Nanti kalo ketemu di jalan gimana? Kalo Bowo masih marah gimana? Kalo dan kalo terus-terusan enggak abis-abis.

Ah sial.

Hari-hariku menjadi canggung karena Bowo. Karena di mana pun pasti ada Bowo. Anak itu begitu popular, saking populernya, siswa kelas satu sampai kelas tiga mengenalnya. Kadang dia ada di kantin, kadang di perpus, kadang menguasai kelas. Arghh! Rasanya canggung bertemu dengannya lama-lama, tak enak karena sikapnya padaku yang masih belum cair.

Tapi hari ini, di hari senin. Saat aku terlambat untuk kesekian kalinya. Aku bertemu Bowo. Di tempat Jalan pintas yang biasa aku gunakan saat terlambat. Dia tidak sendiri tapi bersama Waldi dan ketiga teman tongkrongan lainnya. Mereka duduk jongkok sambil menunggu jalannya upacara. Aku panik, mau bergabung tidak mungkin. Tapi jika tidak keberadaanku akan dilihat anak STM.

Inilah yang dinamakan maju mundur kena.

Terpaksa aku juga menunggu upacara selesai, dengan jarak sedikit agak berjauhan dari mereka. Setelah upacara selesai, Bowo bilang. “Kalian naik duluan!” katanya pada teman-temannya sambil melirik ke arahku.

Enggak tahu kenapa, saat mendengar Bowo mengatakan itu pada teman-temannya. Aku merasa Bowo masih peduli dan mengerti, jika aku paling enggak mau bokong besarku ini dilihat siapa pun dari belakang terlebih cowo. Akhirnya setelah mereka naik, giliran aku tiba.

Naik aku ke tumpukan kursi kayu bekas sekolahan yang sengaja ditumpuk, lalu naik perlahan dan duduk di atas tembok batako tua. Bowo dan teman-temannya sudah menghilang, segera aku melompat dan saat berjalan hal yang tak kuinginkan terjadi.

“KHANZA MIA AMELIA!” Suara Pak Lumban terdengar menggelegar di telinga. Saat aku menoleh, lelaki berdarah batak itu sudah berdiri dengan sapu yang dia busungkan ke arahku. Mataku melotot, dan refleks aku langsung berteriak sambil berlari.

Seperti Tom dan Jerry kami berkejaran di sepanjang koridor sekolah. Saat melihat toilet perempuan tergesa-gesa aku masuk ke dalam kemudian bersembunyi di sana. Napasku tersengal, sa
mbil mengusap peluh aku menarik napas dalam-dalam.

“Selamet!” lirihku dan saat melihat ke bawah masalah baru kemudian muncul, aku melenguh.

“Ya Allah! Apa lagi ini!” kataku saat melihat rok sepan yang biasa kugunakan telah robek sampai selutut.

Akhirnya aku tak berani keluar dan memilih untuk berdiam diri dalam toilet. Setidaknya sampai ada salah satu temanku masuk dan mau membantu mencarikan benang dan jarum. Tak seperti yang dikatakan Bowo, jika aku tak pakai dalaman. Aku pasti pakai dalaman, sayangnya dalaman ini terlalu ketat dan berwarna hitam. Tak mungkin aku keluar, dengan keadaan seperti itu.

Jongkok aku di sudut toilet lalu bangkit karena pegal, kemudian jongkok lagi dan begitu seterusnya menunggu dan menunggu siapapun masuk ke dalam toilet.

Setiap ada suara dari luar, aku langsung berlari dan mengintip. Sayangnya tidak ada satu pun, sekali pun ada itu adalah staff guru. Bencana besar jika aku meminta bantuan mereka. Ibuku bisa dipanggil ke sekolah dan aku tak mau itu terjadi.

Ahh! Andai saja aku sekaya Ria, Meyna, atau teman-temanku lainnya yang sudah memiliki ponsel. Aku pasti sudah meminta bantuan temanku saat ini. Tapi boro-boro ponsel, bayaran bulanan sekolah saja masih suka terlambat.

Satu jam berlalu, dan belum ada satu pun siswa yang masuk ke toilet lantai satu. Sampai seseorang akhirnya datang.

“Mia! Ngapain lo!” Suara Meyna tiba-tiba terdengar. Mataku langsung terbuka lebar, senang.

“Ya Allah Alhamdulillah!” kataku dengannya sambil jingkrak-jingkrak menggenggam tangannya.

“Lu kenapa? Gua kira lu nggak masuk.”

“Ya ampun Poek. Minta tolong bawain jarum sama benang bisa nggak?”

“Kenapa emangnya?”

“Rok gua robek Poek!”

“Hah! Mana?” tanyanya dan aku memutar menunjukkan padanya. Bukannya prihatin, Bapoek malah tertawa lebar. Terbahak-bahak sambil menggenggam perut saking gelinya.

“Ya ampun kok bisa sih!”

“Gua dikejar Pak Lumban!” Dia tertawa lagi, semakin kencang. Setelah dia mencuci muka, dan keluar sambil tertawa.

“Nanti gua cari bantuan dulu,” katanya sambil berlalu begitu saja.

Setelahnya aku menyesal. Tak seharusnya aku meminta bantuan Bapoek yang kuyakin saat ini sedang menertawakanku di kelas bersama teman-temannya. Membayangkannya aku jadi sedih, lalu melirih karena hati yang menjadi perih karena Bapoek tak kunjung datang sampai bel berdering.

-II-

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.