Novel oleh: Isrina Sumia
Begitulah perkenalanku dengan pemuda bernama panjang Arkano Pringgo Hadibowo. Tak menyangka, aku bisa duduk sebangku dengannya. Lelaki yang selalu memamerkan suara tawanya yang membahana itu memang selalu menghibur.
Tak seperti kebanyakan pemuda tampan lainnya yang dingin kayak kulkas. Bowo berbeda, dia lebih agresif, periang, kadang melucu meski candaannya garing.
Sebenarnya Bowo tak benar-benar memiliki sebagai teman Sebangku. Sebangku denganku hanyalah saat jam-jam tertentu saja. Untuk pelajaran sejarah, ekonomi, agama misalnya. Bowo memilih untuk duduk di belakang bersama Rian teman dekatnya. Sedang untuk mata pelajaran lainnya dia memilih untuk duduk denganku.
Jika orang bilang, Bowo duduk denganku untuk memanfaatkanku.
Garis bawahi. Itu tidak benar.
Bowo tidak pernah memintaku mengerjakan PR apalagi meminta contekan. Tapi yang belum orang lain tahu adalah jika pemuda yang lahir di Jeddah Arab itu, adalah pemuda yang suka belajar.
Kadang, kami mengorbankan jam istirahat kami untuk membahas satu soal fisika yang belum ketemu jawabannya. Dan di saat jam-jam istirahat lainnya, pemuda itu lebih memilih berkumpul bersama teman-teman tongkrongannya.
Setelah Bowo, orang berikutnya yang kuajak berkenalan adalah Emalia dan Mutmainah. Mereka duduk persis di belakangku. Mutmainah yang biasa kupanggil Mumut kadang pindah duduk ke depan jika Bowo sedang duduk di belakang. Anak ini sama lucunya denganku dan Bowo. Kadang yang dia bicarakan bukan pelajaran melainkan Geng Bapoek yang dikepalai oleh Meyna. Gengnya anak-anak tercantik di kelas. Pekerjaan mereka selain berias dan gosip adalah menggoda Bowo.
Saat jam istirahat, Mumut duduk di sampingku. Sambil menarik bumbu kacang syomay dari plastik dia berkata.
“Eh si Meyna udah jadian sama si Waldi tau nggak?” Gosip Mumut dan aku menggeleng.
“Lu mah kudet banget sih! Jadi pelajar jangan lugu-lugu banget napa!”
“Lah terus untungnya buat gua apa?”
“Nita jadian sama Keong! Nah si Ria lagi ngincer si Bowo.”
“Ya biarin aja, kalo Bowonya mau,” balasku datar sambil mengerjakan tugas.
“Heh tai lalet, minggir!”
Suara Ria tiba-tiba saja terdengar nyaring. Tahi lalet yang dia maksud adalah si Mumut. Tahi lalet yang bentuknya sama persis dengan tahi lalat milik Ita Purnamasari itu menempel persis di atas bibir Mutmainah. Setelah Mumut bangun, Ria pun duduk, dia rangkul pundakku sambil bilang.
“Eh Mia, comblangin gua sama Bowo donk!”
Hahahah benar aja apa yang digosipin si Mumut.
“Berhenti dulu napa belajarnya!” bentak Ria sambil merampas pensilku kemudian meletakkannya.
“Iya iya!”
“Nah gitu donk!” Ria tersenyum. Pelajar berhidung mancung dengan jejeran gigi yang rapih itu memang sangat cocok dengan Bowo. Rambutnya lurus tergerai sebahu, kulitnya sedikit gelap karena selain sekolah dia juga athlete bola Voli terbaik di sekolah kami.
“Setiap informasi tentang Bowo gua tuker sama Mie Ayam pakde.”
“Bener!” seruku antusias, mengingat selama ini aku hanya makan bekal dari Mamah karena uang jajan pas-pasan.
“Benerlah! Masa iya gua boong!”
“Deal!” Kesepakatan itu terjadi begitu aja.
Setelahnya saat di kelas, sambil belajar sesekali yang kubahas dengan Bowo adalah tentang makanan kesukaan, film favorite, warna, tipe cewe dan banyak topik yang membuat si Bowo bilang begini.
“Bu Haji sekarang kalo ngomong suka ngelantur!”
Aku tertawa. Tapi setelah itu dia menjawab semua pertanyaanku. Mulai dari bubur ayam dan kolak pisang makanan favoritenya. The Moffats group band favoritenya, biru warna yang paling dia sukai dan satu hal kebiasaan unik yang Bowo lakukan.
Coba tebak?
Pengetahuanku akan hal unik yang biasa Bowo lakukan adalah saat tak sengaja aku menumpahkan bubuk rautan ke sepatunya.
“Ya ampun, Maaf Wo! Nggak sengaja kesenggol!” kataku panik sambil menunduk mengambil rautan, serbuknya masuk ke sepatu dan serbuk pensil mengotori kaus kaki yang selalu terlihat putih seperti baru itu.
“Sini buka Wo! Gua bersihin!” kataku, dan dia malah menggeleng.
“Jangan kayak orang kismin dong Bu Haji!”
jawabnya.
Dia malah mengambil tas selempang hitam polosnya kemudian mengeluarkan kaus kaki baru dari dalam. Aku langsung melotot, kutarik tasnya dan melihat ada tiga sampai empat kaus kaki baru di dalamnya.
“Lu dagang!” seruku, dan dia malah tertawa.
“Gua jiijik sama kaus kaki kotor Bu Haji,” katanya sambil melepas kaus kaki kemudian melemparnya ke tempat sampah.
“Goool!” teriaknya.
“Stress! Itu masih bagus Wo!” Aku teriak, Bowo tertawa.
“Bu Haji, kaus kaki murah!” balasnya sambil tertawa dan menggeleng.
“Belagu!” timpalku.
Begitulah Bowo, dan semua hal tentangnya kusampaikan pada Ria. Hingga tiga hari berturut-turut aku gratis makan Mie Ayam Pakde.
Tapi saat di kantin, saat aku makan mie ayam bareng Ria. Bowo bersama teman-temannya datang kemudian duduk di kursi panjang kantin yang terbuat dari besi. Tanpa aba-aba Ria bangun dari duduknya, dia pesan bubur ayam kemudian dia dekati pemuda pujaannya itu, gadis itu melendot dan dengan suara mendayu Ria bilang,
“Bowo ganteng makan dulu ya! Bubur Ayam makanan Favorite Bowo!”
Bowo terlihat kaget, terus tanya. “Tau dari mana lu!”
“Mia!” jawab Ria dengan sedikit alis terangkat.
Mata Bowo langsung beredar. Sebelum Bowo menemukanku, buru-buru aku ngumpet di balik meja dan perlahan-lahan merambat kemudian keluar kantin. Berlari aku menembus rombongan siswa yang hendak ke kantin dan buru-buru ke kelas.
Aku berlari, kemudian naik tangga dan langsung shock saat melihat Bowo sudah di lantai dua menunggu di bibir tangga. Mataku terbelalak, mungkin Bowo berlari mengejar dan naik tangga dari arah lain. Kutelisik sekitarku, sepanjang teras lantai dua tak terlalu ramai karena semua siswa pasti sedang berada di kantin. Cengengesan aku di depannya, dan dengan mata jeli dia memandangku.
“Heh Bu Haji!”
“Ke … kenapa Wo?”
“Lu jual gua ke Ria!” Aku kaget, jual! Bingung.
“Apaan sih Wo!”
“Kenapa lu jual gua seharga Mie Ayam!” Bowo benar-benar marah, dengan nada yang meninggi dia bertanya.
“Bukan jual beli akadnya Wo!” Aku membela.
“Terus.”
“Si Ria, itu minta dicomblangin.”
“Ooh jadi lu MakComblang!”
“Nggak gitu juga.”
“Terus apa?” Aku cengengesan.
“Maaf ya Wo.”
“Bukannya Bu Haji sendiri yang bilang, pacaran haram. Kenapa comblangin saya.”
“Maaf ya Wo.”
“Gua nggak suka Bu Haji kalo informasi tentang gua disebar, pantes aja Ria suka nelepon ke rumah. Dia dapet nomor gua, dari lu juga?” tanyanya ketus dan merasa bersalah aku mengangguk.
Hari itu, Bowo benar-benar terlihat marah, wajahnya memerah dan senyum yang biasa dia tonjolkan ke aku itu hilang entah ke mana. Dia bahkan memutuskan untuk pindah tempat duduk dan meninggalkan aku duduk sendiri.
Senyum dan tawa Bowo tak pernah lagi dibagikan untukku. Dia hanya berbagi kepada teman-teman tongkrongannya.
Awalnya aku kira semua cowo senang dengan Ria. Gadis tercantik di sekolah, gadis dengan hidung termancung, badan semampai dan berprestasi di bidang olahraga. Tapi nyatanya aku salah. Bowo tidak suka. Dan aku sadar ini salahku, wajar jika Bowo marah.
Akhirnya setelah kejadian itu, aku sama Bowo saling diam. Tidak berani saling menyapa. Jika tak sengaja kami berpapasan, aku langsung buang wajah atau mencari arah lain. Selalu begitu dan mungkin akan selamanya seperti itu.
-II-
Wpbingo
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Nam fringilla augue nec est tristique auctor. Donec non est at libero vulputate rutrum. Morbi ornare lectus quis justo gravida semper. Nulla tellus mi, vulputate adipiscing cursus eu, suscipit id nulla.