MS Publishing

I think I am Ugly

Novel oleh: Isrina Sumia

Novel I Think I am Ugly

“MIA!” Mumut dan Ema teriak. Aku bangun dan kulihat Sinta tertawa.

“Ayo Mia kamu pasti bisa?” kata Bapoek.

Mulanya kukira perkataan Bapoek hari itu, adalah perkataan tertulus yang pernah dia ucapkan untukku. Mulanya juga kukira, bola kencang itu adalah yang pertama dan terakhir yang meninju wajahku. Namun, ternyata tidak. Ria terus menerus dengan sengaja memberikan bola lambung ke arah Sinta seperti sengaja, sehingga gadis berbadan sedikit kekar itu mensmash ke arahku berulang-ulang sampai aku terlunta-lunta.

“Curang! Ria kamu sengaja!” teriak Ema.

Tapi aku masih bangkit, dan teman-teman satu timku justru tertawa tipis seperti semuanya telah disengaja. Pukulan ke lima aku ambruk lagi, kali ini sampai berdarah hidungku, dan mereka bukan membantu tapi semakin tertawa.

“Udah! Woi!” teriak Mumut.

“Ayoo! Mia buktikan kalo lu bisa!” sahut Nita, disambut dengan ucapan Ria, “Ayoo donk! Katanya hebat!”

Lemah aku berdiri dan bersiap di posisiku. Kali ini, aku pasti bisa menghadang smash Sinta. Meski kuakui, rasanya aku sudah tak sanggup. Tapi, aku ingin membalas mereka dengan caraku.

Berdiri aku di posisi seperti sebelumnya, dan ketika Ria lagi-lagi memberikan bola lambung, Sinta kembali mensmash. Pukulan kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

Tak mampu aku bertahan kuangkat kaki untuk melindungi perut dan kedua tangan kusilang di wajah sambil memejamkan mata. Tapi sebelum bola itu sampai kepadaku, terdengar suara bola terpantul, lalu, “Ouch!

Saat mataku terbuka, ada dua orang yang tumbang di sana. Nita dan Sinta, hidung Sinta berdarah. Lalu dua buah bola bergelinding persis di depanku, bola basket dan voli. Aku menoleh dan melihat Bowo dengan seragam basket berwarna biru berjalan mendekat.

Dia ambil bola basket itu sambil berkata, “Lu kalo mau tanding jangan keroyokan!” katanya pada Ria, pemuda itu lalu menatapku sambil menggeleng-geleng, dia lempar handuk yang dia letakkan di pundak sebelumnya ke arahku.

“Bersihin hidungnya, Bu Haji,” katanya lagi-lagi membuat hati dan jiwaku terangkat menuju angkasa.

Dibantu Mumut dan Ema aku kembali ke kelas. Tak lama disusul Bowo, Waldi dan Rian teman basketnya untuk mengambil tas mereka yang tertinggal di kelas.

Setelah dia ambil tasnya, Bowo lagi-lagi mendekat.

“Gua duluan Wo!” sahut Waldi.

“Tunggu di bawah,” jawabnya.

“Lain kali kalo diajakin Ria atau geng Bapoek jangan mau!” kata Bowo padaku, kemudian Bowo pergi begitu saja.

Nyatanya, melihat sikap Bowo yang mendadak dingin kepadaku itu lebih sakit dibanding dihajar-habis-habisan dengan bola voli. Melihat Bowo begitu, bahuku langsung turun, lemas. Harusnya Bowo tak pergi begitu saja, paling tidak bertanya keadaan hidungku atau paling tidak tersenyum dan mengajakku tertawa seperti hari sebelum-sebelumnya.

Bersama Mumut dan Ema aku kembali pulang. Kali ini, aku langsung ke rumah. Setiba di rumah, setelah mengucap salam aku langsung masuk ke kamar. Meringkuk aku di ranjang lalu menangis, sambil melirih, “Booo wooo!”

Begini rupanya rasa jatuh cinta. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Jatuh yang bisa membuat seseorang lupa diri. Jatuh yang bisa membuat seseorang lupa ingatan. Jatuh yang takkan pernah ingin kuulang.
Cukup sekali dalam hidupku aku mengalami perasaan galau yang sangat parah sampai saat ini.
Jalan satu-satunya melupakan Bowo adalah kembali menjadi Mia yang dulu. Kata orang-orang, orang gendut sepertiku dilarang jatuh cinta, nanti patah hati. Jadi kuputuskan untuk memendam dalam-dalam perasaan ini dan bersikap biasa saja dengan Bowo seperti dulu.


Pagi-pagi sekali aku bantu Mamah di pasar. Kuikatkan handuk di kepala seperti biasa, sampai langit berubah menjadi terang aku langsung berlari menuju rumah dan melanjutkan ke sekolah.

Seperti biasa terlambat lagi. Tapi kali ini, aku tak lewat jalan pintas karena bertemu dengan Bowo sekarang lebih menakutkan dibandingkan bertemu dengan Pak Narto.

Setiba di kelas. Bangku Bowo, Waldi, Rian, Keong kosong. Kata Mumut, dari pagi mereka semua belum terlihat batang hidungnya. Aku tak tahu Bowo ke mana. Bowo benar-benar tak datang hari itu bersama ke empat kawannya.

Hari itu, kami sedang belajar Sejarah, yaitu pelajaran Kehidupan Bangsa Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang. Saat itu situasi dalam kelas benar-benar tidak terkondisikan. Karena Bu Sri Guru Sejarah tidak masuk, dan kami hanya mendapat tugas untuk merangkum.

Tiba-tiba Saiful, anak kelas sebelah masuk begitu saja berlari tanpa permisi. Anak itu cukup sering bermain di kelasku saat jam istirahat tiba. Bersama Bowo dan teman-teman lainnya. Anak itu datang dengan wajah berkeringat, ngos-ngosan, dengan napas yang tersengal.

“Gawat!” katanya membuat kita semua panik dan suasana jelas menjadi hening.

“Kenapa Pul?” tanya rendy teman Bowo yang masuk hari itu.

“Bowo, Waldi, Rian sama Keong juga beberapa siswa dari kelas lain semalam ada di kantor polisi!” Begitu katanya membuat kami semua melongo dan melotot.

“Kenapa sama mereka?” tanya Ria dan Bapoek sambil maju mendekat.

“Tawuran kayaknya, hari ini gua dikabarin Narto kalo mereka dapat skors dari sekolah dan gosipnya ada yang bakal dikeluarin!” tambah Saiful membuat dadaku tergerus ke dasar paling dalam.

“Maksudnya dikeluarin?” tanyaku.

“Ya, ada beberapa siswa dari sekolah kita yang bakal dikeluarin.”

“Tawuran sama anak mana?” tanya Samsyul, teman Bowo yang sepertinya tak tahu kejadian yang menimpa teman-teman nongkrongnya itu.

“Anak Kencana!”

“Hah!” Ria berseru.

“Kenapa lu Ria?” Semua mata kini tertuju pada Ria. Tapi, mata Ria lalu melirik ke arahku. Dia melotot. Aku enggak ngerti.

“Sekarang anak-anak itu di mana?” sahut yang lainnya.

“Kayaknya diskors sampe ada keputusan dari sekolah.”

Perlahan aku duduk lemas, dan seketika isi pikiranku hanya dipenuhi dengan Bowo dan tanda tanya tentang keadannya.

Kami semua kaget, beberapa dari kami menyesali dan berharap tak kehilangan satu pun sahabat kami. Aku tak tahu rumah Bowo di mana, rasanya ingin sekali tahu kabarnya. Tapi … tak ada satu pun yang tahu rumah Bowo, kecuali Rian dan Waldi mungkin.


Setelah pulang sekolah. Kuberanikan saja menelepon rumah Bowo dari rumah. Perasaan campur aduk jadi satu, antara cemas, prihatin tapi juga sungkan khawatir keberadaanku justru membuatnya jengkel. Namun, aku harus benar-benar tahu keadaan Bowo, agar aku bisa tenang. Karena sejak kabar itu terdengar, aku hampir tak bisa duduk tenang.

“Assalamualaikum.” Suara Wanita yang kukira Ibunya Bowo terdengar.

“Waalaikumsalam Bu. Saya Mia … teman satu kelasnya Bowo. Apa boleh saya tahu kabar Bowo?” tanyaku ragu-ragu. Tapi dengan nada suara yang lembut dan hangat, wanita itu justru menjelaskan.

“Mia sayang … maaf ya. Bowo sedang dapat hukuman dari saya untuk tidak berkomunikasi dengan siapapun, terlebih teman-temannya. Setidaknya sampai semuanya jelas.”

“Tapi … Bowo tidak apa-apa kan Bu?”

“Tidak apa-apa Nak.”

“Terima kasih Bu. Sampaikan salam saya untuk Bowo ya Bu. Semoga Bowo sehat selalu,” kataku sambil menarik napas lega.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat Bowo selama dua hari di lingkungan sekolah atau di mana pun.

Mungkin, skorsnya belum usai atau mungkin dia sakit dan tak ingin orang lain tahu tentang keadaannya. Aku tidak tahu dan harus ke mana menanyakan kabar tentangnya. Nanya ke beberapa teman nongkrongnya, takut diledek dan dikira macam-macam.

Jadi, beberapa hari itu kukira akulah orang yang paling bingung sedunia. Sampai akhirnya kebingunganku terjawab di hari esoknya. Beberapa teman yang sudah diskors akhirnya masuk ke sekolah dengan keadaan rambut yang sudah terplontos. Tapi, tidak ada Bowo dan Waldi di sana.

Apa mungkin Bowo dan Waldi adalah dua anak yang akan dikeluarkan? Hati ini terasa perih memikirkannya. Saking perihnya, sepasang mata terasa terciprat perasan lemon. Hingga aku tak mampu membuka mata dan hanya berani mendengar.

Sampai suara Bowo akhirnya terdengar nyaring di telinga, “Assalamualaikum!” Mataku terbuka.

“Bowo! Bowo!” teriak mereka bersahutan. Hari itu, Bowo ditemani Waldi masuk ke dalam kelas. Kepala mereka sama plontosnya dengan bebeapa teman lain yang baru masuk. Tapi, di antara mereka hanya Bowo yang tidak menggunakan seragam.

Anak-anak menangis, terlebih aku yang tak tahu harus apa. Bowo hanya tersenyum menyapa teman-teman dan sambil melambaikan tangan dia berkata.

“Terima kasih untuk semuanya teman-teman. Hari ini, hari terakhir gua di sini!” Pecah air mataku tak terbendung, di hadapannya aku sesenggukan, dan merintih sambil menutupi wajah dengan dua belah telapak tangan.

-II-

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.