MS Publishing

I think I am Ugly

“Ya, nggak mungkinlah dia nikah sama buntelan kentut! Mana mau si Bowo sama cewek jelek, item, gendut kayak gitu!” Ish! Isi kepalaku mendidih mendengarnya, sedotan minuman kugigit sampai putus.

Novel oleh: Isrina Sumia

-II-

Siang itu, di Jakarta, pada bulan Desember 2011. Langit berwarna biru muda dengan kepulan awan berwarna putih susu menemani perjalananku menuju SMA PUTRA NEGARA. Tempatku mengenyam Pendidikan tiga tahun lamanya. Lokasinya tak jauh dari rumah, hanya sekitar 500 meter saja, tak perlu menggunakan motor karena aku tidak punya, apalagi mobil.

Setelah turun dari angkot, pengendara ojek sepeda langsung berkerumun mendekat. Ojek sepeda yang sekarang sangat sedikit keberadaannya. Berbeda saat aku SMA dulu, sepuluh hingga dua puluh ojek sepeda itu berjejer di sepanjang jalan STM.

Lalu, hari ini, saat mereka mendekat, kutolak mentah-mentah. Bukan karena tak punya uang, apalagi tak kasihan dengan para pengendara ojek yang kurus dan keriput itu. Tapi karena aku memang memiliki pengalaman tak mengenakkan dengan ojek sepeda. Saat usia enam tahun, aku tertabrak sepeda sampai tanggal dua gigi depanku. Sejak itu setahun lamanya orang-orang memanggilku si Jendela. Karena setiap aku menyengir, penampakan gigiku memang seperti jendela yang terbuka.

Apa kalian pernah naik ojek sepeda? Buat kalian yang lahir di era reformasi mungkin tak pernah merasakannya. Tapi buat kamu yang lahir di era Orde Baru, pasti pernah sekali merasakannya. Sensasi naik ojek sepeda, sama halnya seperti naik ontang-anting di Dufan. Sepedanya yang terasa ringan, ditambah sopirnya yang mengebut tanpa duduk membuat kita hanya bisa berpegangan dengan jok sopir, rasanya seperti terbang terbawa angin, dan pengalaman keduaku adalah saat ojek sepeda yang kutumpangi nyusruk hilang kendali hingga masuk ke got yang berwarna hitam pekat.

Seragam SMA-ku kala itu kotor, basah, bau. Jengkel, tapi kasihan dengan si sopir yang keadaannya lebih parah dariku. Ongkos Jajan dari Mamah pun akhirnya kuberikan padanya, dan aku pulang berjalan kaki, menangis sambil menahan malu karena ditertawakan banyak orang. Jadi kali ini aku memilih berjalan kaki saja menuju tempat reuni diadakan di SMA PUTRA NEGARA.

Sepuluh tahun yang lalu, begitu banyak pelajar yang berjalan kaki di sepanjang jalan STM ini. Kini, hampir semua siswa menggunakan motor, atau diantar orang tuanya sampai gerbang sekolah. SMA-ku berada di samping STM WIJAYA, juga di belakang SMP BENUA. Di tengah-tengah ketiga sekolah itu, ada tanah merah kosong yang biasa dijadikan tempat tawuran antara anak-anak STM Wijaya dengan anak -anak STM lainnya. Sedang murid-murid di sekolah kami, kadang hanya menjadi penonton gratis di balik kelas, sambil diam-diam berjaga kalau-kalau batu yang mereka lemparkan menerobos kaca tua jendela kami.

Tiba di sekolah, suara-suara band musik terdengar begitu nyaring. Lahan parkir penuh dengan jejeran mobil para alumni. Suara teriakan, speaker yang pekak, dan suasana kantin yang begitu sibuk terlihat jelas di mataku.

Datang ke reuni bukan keinginanku, tapi keinginan Mumut, sahabat dekatku. Kami janjian bertemu di Bakmi Pakde langganan kami hari ini. Hanya itu. Jadi setelah sampai, sejenak aku masuk ke toilet mengusap keringat yang sudah menumpuk di dahi dan melunturkan bedak Marks yang selalu kupakai.

Sedikit kupupuk-pupuk lagi, kemudian keluar dari toilet dan langsung menuju kantin tanpa perlu melihat panggung acara dan bertemu dengan teman-teman seangkatan kami.

Mumut belum datang. Padahal kami janjian pukul sepuluh pagi dan saat ini sudah pukul setengah sebelas siang. Aku memang ngaret, tapi Mumut lebih-lebih. Akhirnya kubeli sesuatu untuk kuminum, lalu duduk di salah satu kursi sambil menghadap Mi Ayam Pakde yang sudah dipenuhi antrean para alumni.

Saat aku duduk, tiba-tiba saja terdengar suara-suara yang tak asing terdengar nyaring di telinga. Mereka adalah teman-teman seangkatan yang memilih duduk persis di belakangku. Sinta, Joyce, dan Eting.

“Eh, tau nggak gosipnya si Bowo udah nikah?” kata salah satunya yang kuyakini Eting.

Bowo, dia adalah pelajar tertampan, terdingin yang terkenal di sekolahku, sekaligus orang yang paling dekat denganku saat ini. Tanpa menoleh, diam-diam aku mendekatkan kepalaku agar gosip mereka terdengar jelas.

“Serius?! Bowo yang ganteng itu, kan?!”

“Iya!”

“Jangan bilang dia nikah sama Buntelan Kentut!” Ya, Tuhan, aku kaget. Karena Buntelan Kentut itu adalah aku.

“Ya, nggak mungkinlah dia nikah sama Buntelan Kentut. Mana mau si Bowo, jelek, item, gendut kayak gitu!” Ish! Isi kepalaku mendidih mendengarnya, sedotan minuman kugigit sampai putus.

“Iya, mana mau si Bowo. Tapi heran juga, sih, sejak dulu si Bowo kenapa deket banget ya ama tuh Buntelan?” Aku menyeringai.

“Halah, palingan juga cuma buat nyontek atau minta tolong kerjakan PR. Buntelan kan pinter.”

“Iya juga sih. Mana mau Bowo sama dia.”

“Nih denger, pinter sama alim bisa diubah tapi kecantikan tidak akan bisa,” lanjut salah satunya disambut tawa yang lebar.

“Buntelan mah jeleknya abadi!” kata mereka lagi.

“Heh!” Aduh siapa itu? Aku sedikit menoleh dan si Mumut udah datang sambil gebrak meja mereka.

“Sekutu dataaang!” Sahut salah satu dari mereka yang kuyakin suara Sinta.

“Gua doain kalian jadi perawan tua!”

“Yeeeh!” Mereka nyinyir.

“Memangnya kenapa kalo si Bowo nikah sama si Mia?” Aku tersedak, Mumut gila. Kayaknya dia bakal bongkar rahasia besar aku sama Bowo. Aku masih memantau.

“Denger ya! Gua kasih tau! Kalo si Bowo memang udah nikah sama ….”

“MUMUUUUUT!” teriakku sambil berlari ke arahnya, kemudian membekap mulutnya, lalu menggiringnya ke luar kantin. Tapi sejurus kemudian, langkah kami terhenti.

Mataku melotot dan menganga saat melihat mobil Suzuki Katana warna Wagon masuk ke dalam sekolah. Mobil yang sudah dimodifikasi dengan ban besar untuk offroad itu masuk dan berhenti di antara jejeran mobil mewah lainnya.

Tak lama, lelaki yang begitu kukenal itu turun. Lelaki berkulit putih dengan pundak yang begitu bidang dan rambutnya yang ikal itu turun dengan mengenakan jins dan kemeja kotak berwarna biru, lengan kemejanya dia gulung sampai siku, kacamata hitamnya menutupi matanya yang berwarna cokelat itu.

“BOWO!” teriak Mumut setelah mengigit telapak tanganku.

Saking terpesonanya aku, gigitan Mumut pun tak bisa kurasakan. Lelaki berhidung bulat mancung itu melambai ke arah kami, kemudian melambai ke arah lain.

Dia bersalaman dengan siapa pun yang melintas di depannya. Wajar, Bowo sangat terkenal dulu saat di SMA. Tak sedikit siswi yang memintaku untuk dicomblangkan dengannya. Lelaki itu sambil melepas kacamatanya berjalan ke arah kami, sambil tersenyum.

“Pada kenapa, sih?” tanyanya dan mataku terbelalak.

Sebelum kami menjelaskan. Trio Ambisi yang sebelumnya bergosip tentangku, datang.

“Bowo! Bowo!” Mereka berlarian mendekati lelaki yang cukup lama tinggal di Amerika itu, melendot, meraih tangannya dan menggandengnya.

Bowo terkekeh. Lalu berkelakar, “Kalian itu belum berubah juga. Dari dulu masih genit!”

“Eh Bowo, emangnya bener lu udah nikah?” tanya Sinta dan mata Bowo langsung melihatku. Perutku sakit, rasanya mau ke belakang, mules, mendadak kulitku berubah dingin karena takut Bowo marah atau kecewa, atau aku yang patah hati.

“Emangnya kenapa kalo udah?” jawab Bowo.

“Yaaaaa! Pupus dong!” sahut Eting.

“Tapi lu nggak mungkin nikah sama si Buntelan ini kan! Sumpah! Nggak cocok, Bowooo!” timpal Joyce.

Aku merengut, Bowo menyeringai, lalu menggandeng tanganku membuatku panik. Tapi sejak dulu Bowo memang begitu.

“Emangnya kenapa? Cocok aja kan!”

“Iiiih!” Bowo nggak bela aku, tapi dia justru narik aku ke dalam, dan meninggalkan Trio Ambisi di sana.

“Bowo! Bowo!” desisku.

Sambil tertawa dia melihatku, ia berkata, “Seluruh dunia bilang kita menikah, mereka tetep nggak bakalan percaya! Udah, tenang aja!”

Duduk dia di kursi kantin, dan semua teman-teman seangkatanku langsung mendekat ke arahnya. Bowo sangat terkenal, berbeda denganku yang terbuang.

Di hadapannya, aku termangu, dan merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Meski aku tak benar-benar memilikinya. Karena sepertinya harapan itu memang takkan pernah terjadi, bahkan mungkin jika bumi terbalik sekalipun. Lelaki seperti Bowo takkan pernah menjadikan aku istri seperti seorang upik abu yang dinikahkan pangeran. Karena aku masih tak seberuntung Cinderella. Cinderella meski seorang Upik Abu, dia masih tetap cantik. Lah aku? I am ugly, tak hanya di era 2000-an, tapi juga sekarang. I am still ugly!

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.